UGM Kembangkan Piranti Rel Penyeberang Orang

Berawal dari keikutsertaannya ikut program kreativitas mahasiswa saat kuliah di Teknik Sipil UGM, Santosa Sandy Putra, ST berhasil menemukan dan mengembangkan alat pembantu penyeberangan pejalan kaki yang dinamakan PIREN yang berbentuk piranti rel penyeberang orang. Menurut pengakuan lulusan teknik sipil UGM tahun 2008 ini, ide penemuan alat ini berawal atas keprihatinannya melihat banyaknya korban kecelakaan saat menyeberang jalan yang kerap ditemuinya di kota Semarang.

“Ide awalnya, banyaknya karyawan pabrik dan anak-anak sekolah di kota Semarang pada jam-jam sibuk yang sangat riskan terjadi kecelakaan, baik pada saat berangkat dan pulang dari sekolah atau pabrik, ” kata pria kelahiran Kelahiran Semarang, 16 September 1987, kepada wartawan, Jumat (5/12) di sela kegiatan Workshop “Indonesia Speed Management” di Hotel Hyatt Yogyakarta. .

Berdasarkan pengamatannya di sekolah-sekolah dasar yang berada di jalan arteri dan jalan kolektor serta situasi di jalan depan pabrik pada jam-jam sibuk, aktivitas penyeberangan terkadang berjalan semrawut, dan sering kali kendaraan tidak mematuhi rambu-rambu di daerah penyeberangan sehingga banyak sekali terjadi kasus kecelakaan.

Alat yang ditemukan di akhir tahun 2007 lalu itu, Santosa bersama dengan tiga orang rekannya mahasiswa Teknik lainnya berhasil mendapatkan dana inisiasi oleh Dikti sebesar lima juta rupiah setelah lolos seleksi program kreativitas mahasiswa.

Dari dana Dikti tersebut, ujar anak pertama dari dua bersaudara ini kemudian diciptakan alat yang sejak awalnya dinamakan Perencanaan dan Tinjauan Aplikasi Piranti Rel Penyeberang Orang atau sering disingkat PIREN.

Dalam proses pembuatannya, dimbing langsung oleh salah satu dosen Teknik Sipil, Prof Ir Sigit Priyatno MSc PhD. Setelah lulus, oleh Prof Sigit penemuan tim mahasiswa bimbingannya ini kemudian dikembangkan lebih lanjut, untuk disosialisasikan ke sekolah-sekolah dan bengkel-bengkel serta ke Departemen Perhubungan.

Kendali Manual

Menurut Santosa, piranti rel penyeberang orang yang dibuatnya dalam operasinya menggunakan kendali manual. Dalam pengoperasiannya membutuhkan satu atau dua orang operator untuk mengendalikan alat tersebut. Tugas operator tersebut, katanya, bisa digantikan oleh salah seorang satpam yang akan bertugas mengendalikan tombol untuk membuka dan menutup pagar pembatas piranti rel.

Apabila aktivitas penyeberangan di jam-jam sibuk diperlukan tiga hingga empat orang polisi atau satpam untuk membantu aktivitas penyeberangan, maka dengan alat ini jelas Santosa, hanya membutuhkan satu tenaga satpam sebagai operator.

“Alat ini lebih menghemat tenaga kerja, ketika akan menyeberang, alat ini tinggal dihidupkan, rangkaian pagarnya akan menjulur dan membuka ke depan, setelah para penyeberang selesai menyeberang mala alat ini akan melipat kembali secara kendali elektrik,” ujar asisten dosen di jurusan teknik sipil UGM ini.

Pembuatan alat ini selain melibatkan kerjasama dengan mahasiswa teknik elektro dan teknik mesin, juga melibatkan siswa sekolah MAN Maguwoharjo, Sleman. Pemilihan kendali secara manual, kata Santosa,berdasarkan pertimbangan tertentu karena kondisi masyarakat belum siap menerima teknologi sensor tersebut, apalagi dengan kendali sensor berisiko sistem mengalami error atau dibuat main-main untuk anak-anak sehingga bisa menimbulkan kekacauan dan kecelakaan.

“Pembuatan kendali secara manual, berdasarakan pertimbagan kita saat itu agar supaya masyarakat baik yang pendidikan rendah atau tinggi untuk bisa ikut membuat alat ini, sehingga alat ini lebih memasyarakat, dan bisa ikut berpartisipasi dan lebih bermanfaat,” katanya.

Untuk sementara ini, kata Santosa, alat ini sudah digunakan di MAN Maguwoharjo, sehingga pada saat proses pembuatannya disesuaikan dengan lebar jalan di depan sekolah tersebut, dengan lebar jalan enam meter.

“Alat ini tidak didesain sembarangan, alat ini sengaja tidak didesain sama, sebelumnya digunakan di MAN Maguharjo, saat itu, permintaannya alat ini bisa menjalankan 90 orang per setengah jam saat berangkat sekolah, maka setiap 2 menit ada sekitar 8 sampi 9 orang yang menyeberang,” katanya.

Diakui Santosa untuk sekali beroperasi, sebenarnya PIREN bisa mengantarkan 6-9 orang untuk menyeberang, dimana sekali beroperasi membutuhkan waktu sekitar 12,11 detik.

“Waktu tersebut dihitung dari alat ini mulai membuka sampai menutup kembali,” jelasnya.

Rangkaian PIREN ini, tambah Santoso terdiri rangkaian segmen pagar pembatas, mesin penggerak, tombol kendali, dan sistem rambu yang terdiri lampu dan sirine.

“Sebelum pagar pembatas beroda ini berjalan para pengendara dikejutkan dengan adanya lampu yang menyala dan bunyi sirine,” ujarnya.

Bila awalnya alat ini proses pembuatannya dibiayai oleh Dikti melalui program kreativitas mahasiswa sebesar 5 juta rupiah. Setelah disosialisasaikan sekolah-sekolah dan ke bengkel-bengkel, biaya pembuatan alat ini mencapai biaya delapan juta, karena adanya kesalahan-kesalahan teknisi bengkel.

“Untuk ke depan, mungkin biaya pembuatannya jauh lebih murah karena mereka (bengkel) sudah lebih berpengalaman, jadi bisa kurang dari lima juta rupiah,” tegasnya.

Dikesempatan yang sama, salah satu dosen pembimbingnya, Prof Ir Sigit Priyatno MSc PhD mengatakan dengan adanya PIRENini Prof Ir Sigit Priyatno MSc PhDsetidaknya sangat membantu para pengguna jalan pedestarian (pejalan kaki) seperti kaum tuna netra dan lansia untuk menyeberang, karena para para tuna netra dan lansia menurutnya secara tidak langsung akan dihadapkan pada situasi yang dilematis saat menyeberang jalan. “Di satu sisi kita ingin menuntut kemandirian dari mereka, di sisi lain kita harus memberikan perhatian lebih dalam hal keamanan dan keselataman mereka,” ujar pakar teknik transportasi UGM ini.

Lebih lanjut Sigit menambahkan, realita yang terjadi selama ini, golongan cacat dan lansia kerap kali menjadi faktor penghambat kelancaran lalu lintas. Kondisi tersebut dikarenakan belum adanya mekanisme pengaturan pedestarian yang mudah diterapkan dan mudah digunakan.

“Terutama pada jam-jam sibuk, keberadaan mereka kadang dinilai menggangggu kemanan dan kelancaran lalu lintas,” tegasnya.

Tidak hanya itu, kata Sigit, problem keselamatan penyeberangan jalan di Indonesia menjadi perhatian serius karena di kota-kota besar, kemacetan di sekitar sekolah membuat anak-anak dan penyeberang jalan lainnya selalu dalam ancaman bahaya.

“Mereka sebenarnya adalah kelompok rentan pengguna jalan khsusunya anak-anak dan orang cacat, karena secara psikis maupun fisik kurang mampu merespon bahaya secara cepat dan tepat. Bagi anak-anak yang bersekolah di tepi jalan nasional seperti jalur padat, ancaman datang dari kendaraan-kedaraan berat yang melaju dengan kecepatan tinggi. Situasi sulit seperti ini membuat keselamatan perjalanan anak sekolah menjadi tidak terjamin,” ujarnya.

Menurut Sigit, keberadaan alat pembantu penyeberangan ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyeberangan pada jam sibuk dan mengubah cara pandang publik terhadap prioritas pengguna jalan sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik kepentingan yang merugikan.

Disamping itu, menyadarkan masyarakat di sekitar sekolah selaku pengguna jalan untuk memberi hak jalan kepada pejalan kaki secara umum dan terbentuknya kemitraan antara komunitas sekolah, pemerintah daerah, dan pihak-pihak yang berkomitmen dalam upaya peningkatan masyarakat akan pentingnya keselamatan penyeberangan jalan. (Humas UGM/Gusti Grehenson). ugm.ac.id


Template by : kendhin x-template.blogspot.com